BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangannya,
Ilmu Hubungan Internasional diperkaya dengan munculnya pandangan-pandangan dan
teori-teori baru yang dimunculkan oleh para ahli. Pada beberapa peristiwa,
seringkali teori-teori baru yang muncul, lahir dari pengamatan yang mendalam
oleh para ahli terhadap sebuah perspektif dan/atau teori yang lebih tua.
Pengamatan tersebut seringkali kemudian memunculkan kritik atau ide dan gagasan
yang mendorong kelahiran pandangan dan teori-teori baru.
Lahir dari sekumpulan ahli dan
ilmuwan dari Jerman, Teori kritis muncul sebagai kritik terhadap teori-teori
tradisional dalam Ilmu Hubungan Internasional seperti Realisme, Liberalisme,
dan Marxisme. Secara harafiah, teori kritis diartikan sebagai teori yang
ngkritisi teori yang sebelumnya sudah ada dan mengharuskan manusia bersikap
kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan manusia dan hubungan teori
terhadap manusia (Steans dan Pettiford 2009). Teori Kritis yang juga disebut
sebagai Frankfurt School ini muncul dengan unsur utopis, selalu memperbaiki
diri, dan keinginan untuk selalu menjadi yang paling sempurna (Wardhani, 2013).
Teori kritis hadir dengan mempertanyakan dan mempermasalahkan hal-hal yang
sudah ada sebelumnya. Teori kritis juga memiliki kecenderungan bersifat
emansipatori atau membebaskan.
Salah satu argumen besar yang
diungkapkan oleh teoritisi kritis adalah kritik dan penolakannya terhadap 3
postulat dasar positivisme (Jackson dan Sorensen 2005). Postulat pertama,
tentang realitas eksternal objektif. Menurut teori kritis, hukum sosial
sifatnya tidak kekal melainkan historis. Sistem internasional tidak muncul
secara alami, melainkan merupakan bentukan negara-negara kuat. Teori kritis
mengungkapkan pandangannya bahwa sesungguhnya tidak ada politik dunia yang
berjalan sesuai dengan hukum sosial kekal, karena pada dasarnya hukum sosial
sifatnya tidak pernah kekal (Jackson dan Sorensen 2005). Postulat dasar positivisme
kedua yang dikritik oleh teori kritis adalah terkait dengan perbedaan subjek
dan objek. Kaum positivis memandang bahwa subjek dan objek adalah dua hal yang
secara mendasar berbeda, sementara sebaliknya, bagi teoritisi kritis, kedua hal
tersebu adalah sama. Hal ini dapat dilihat penerapannya pada pengembangan
teori-teori tradisional di masa lampau. Menurut teori kritis, teori-teori
tradisional di masa lalu terlalu tidak terjangkau (Wardhani 2013), dimana
terdapat jarak yang lebar antara subjek peneliti dengan objek penelitiannya.
Hal ini membuktikan bahwa subjek dan objek adalah dua hal yang sangat berbeda.
Postulat positivis yang ketiga yang juga dikritik oleh teoritisi kritis adalah
tentang pandangan kaum positivis yang mengatakan bahwa ilmu sosial merupakan
sebuah ilmu yang bebas nilai. Teori kritis menentang keras pandangan kaum
positivis tersebut lantaran menurut teori kritis, ilmu pengetahun, dan teori
tidak akan pernah bersifat netral, baik secara moral, maupun secara pribadi
atau ideologis (Jackson dan Sorensen 2005). Hal ini dijelaskan dengan
memaparkan bahwa semua bentuk pengetahuan selalu bersumber pada pengamat dan
ilmuwan, yang pada dasarnya tidak akan pernah bersifat netral atau bebas nilai.
Pengamat dan ilmuwan yang menjadi pemrakarsa dan/atau pengembang ilmu
pengetahuan tersebut tidak dapat membebaskan dirinya dari nilai-nilai atau
pengaruh keadaan lingkungan disekitarnya. Oleh sebab itu, sesungguhnya
pengetahuan merupakan cerminan kepentingan dari para pengamat (Jackson dan
Sorensen 2005).
Dalam perkembangannya, teori
kritis banyak dipengaruhi oleh pandangan kaum marxis. Teori kritis menentang
penguasaan kaum borjuis atas kaum proletar dan oleh sebab itu teoritisi kritis
mencari dan mengembangkan pengetahuan dengan tujuan untuk membebaskan
kemanusiaan dari struktur politik dunia yang dikendalikan oleh negara-negara
kuat khususnya Amerika Serikat (Jackson dan Sorensen 2005). Teori kritis
berusaha mendobrak dominasi negara-negara kaya di bumi bagian Utara atas
negara-negara miskin di bagian Selatan. Menurut pandangan teoritisi kritis,
negara kuat dan negara lemah tidak muncul dengan alami, sebaliknya mereka
muncul oleh konstruksi negara-negara kuat itu sendiri (Wardhani 2013), yang
kemudian cenderung berusaha dipertahankan. Negara-negara kuat juga cenderung
menguasai ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang bagi teoritisi
kritis dipandang sebagai bentuk power. Negara-negara kuat tersebut,
dengan dominasi mereka atas ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul sebagai
aktor-aktor yang menguasai dunia.
Secara keseluruhan, dapat
disimpulkan bahwa teori kritis merupakan perspektif yang memandang bahwa ilmu
pengetahuan sifatnya selalu politis. Ilmu pengetahuan selalu memuat
kepentingan-kepentingan pengamatnya, yang walau berusaha menjadi pribadi bebas
nilai namun menurut teoritisi kritis tidak akan pernah bisa karena sampai
kapanpun, lingkungan akan selalu mempengaruhi perkembangan pribadi, yang dalam
hal ini adalah pengamat. Sumbangan terbesar teori kritis pada perkembangan Ilmu
Hubungan Internasional adalah sifatnya yang selalu ingin mengembangkan diri dan
sifatnya yang selalu ingin tidak terpisah dengan masyarakat. Teori kritis
berusaha mendekatkan subjek dengan objek pengamatannya, yang menurut teoritisi
kritis berbeda. Sumbangan terbesar lain yang telah disumbangkan teori kritis
pada Ilmu Hubungan Internasional adalah sifatnya yang kritik imanen, atau terus
mengkritik dan mempertanyakan tanpa henti. Hal ini kemudian, pada pengembangan
Ilmu Hubungan Internasional sangat berguna karena dengan terus mempertanyakan
dan mengkritik, maka akan terus timbul pandangan-pandangan baru yang besar
kemungkinan akan membawa perkembangan dan perubahan pada Ilmu Hubungan
Internasional itu sendiri.
II. RUMUSAN
MASALAH
A. Pengertian Teori Kritis
B. Tujuan dan Karakteristik Teori
Kritis
C. Contoh Fenomena Teori Kritis
(Feminisme)
D. Tokoh-tokoh Gerakan Feminisme
BAB II
PEMBAHASAN
2. I Pengertian Teori Kritis
Istilah teori kritis pertama kali
ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti
pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan
kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari
gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri
kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Untuk
memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus menempatkannya dalam
konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya
menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis
yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena
beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel.
Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu
yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir)
masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai
sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk
merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam
sejarah dan budaya norma-norma kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori
yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus
terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada. Teori kritis menolak skeptisisme
dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian,
teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan
interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan
bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas
dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks
jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim
normatif itu dalam konteks kekinian.
Teori
Kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis
berusaha mengungkap stuktur yang rill dibalik ilusi kebutuhan-kebutuhan yang
salah yang dinampakan dunia materi dengan uuan membantu membentuk suatu keadaan
sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan manusia.
2.
2 Tujuan dan Kaarakteristik Teori
Kritis
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong
kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif
dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi
sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi
pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan
pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan
teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia
memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu, tidak hanya mau
menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi
juga bahwa teori tersebut mau mengubah.
Pada
dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan
pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.
2.
3 Macam-Macam Teori Kritis (
Dikhususkan pada Feminisme)
1.
Feminisme
Studi feminisme
adalah label ”gender” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan
(gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa
banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi
sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki
dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan
antara laki-laki dan wanita di dunia.
1. Salah satu
teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang
Representasi yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow
dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut Siapa dipilih untuk berbicara atau
memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana
posisi perempuan dan dimana laki-laki.
2. Siapa berbicara
untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
3. Satu bagian
untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari kelompok.
4. Siapa dapat
berbiara dan merepresentasikan siapa?
5. Pemilihan
penulis dan penerbit media.
Dalam kaitan
dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970
menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh
laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa
”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan
dan kegiatan perempuan”.
Salah satu
teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin
Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah
oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang
melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu
kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang
dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan
perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang
didominasi laki-laki.
Teori
komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori
bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi.
Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :
1. Perempuan
menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan
aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2. Karena dominasi politiknya,
sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi
pemikiran alternatif perempuan.
3. Untuk dapat berpartisipasi dalam
masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi
yang dapat diterima laki-laki.
Kramarae
mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan
penelitian :
1. Perempuan lebih
banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki.
Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim,
karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan
istilah-istilah yang memadai.
2. Perempuan lebih
mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan.
Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung
menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi
tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada
laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut
dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan
harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi
dirinya dari sistem perempuan.
3. Hipotesis ke-3
ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara
ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat,
kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.
4. Perempuan
cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding
laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan
mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat
komunikasi laki-laki.
5. Perempuan
seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam
rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
6. Secara
tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di
masyarakat luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki
kontribusi terhadap bahasa.
7. Perempuan
memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki
metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi
laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.
ALIRAN-ALIRAN
DALAM FEMINISME
1) Feminisme liberal
Apa yang
disebut sebagai Feminisme
Liberal ialah
terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas
untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar
ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh
kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka
bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya
kedudukan setara dengan lelaki.
2) Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang
tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori
pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria,
yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka
juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok
kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan
kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya
tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk
melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi
Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita
bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di
sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab
wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis,
mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung
keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan
bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada
kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional,
kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga
dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang
bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan
mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual
di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia,
reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi
perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
3) Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan
tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan
kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki
terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada.
Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini
bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
4) Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan
anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap
fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah
dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau
struktur sosial.
5) Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah
perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan
perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich
Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena
adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang
semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan
proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki
dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap
bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya
sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial.
Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara
kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan
sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
6) Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat
"Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan
Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme
sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide
Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme
Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik
kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme
sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan
perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan
sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga
setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan
itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.
Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti
dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran
warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk
memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam
konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem
kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
7) Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di
penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup
di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar
belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan
lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme
menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat
penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun
mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives
on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan
ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang
dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
8) Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam
menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis
maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik
dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum
perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan
sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial Negara.
TOKOH
DALAM FEMINISME
1.
Foucault
: Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak
pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault
adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki
kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh
kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal
tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
2.
Naffine
(1997:69) : Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power
Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang
yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui
ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu
merupakan efek dari kuasa.
3.
Derrida
(Derridean) : Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana
bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan.
Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas,
tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan
merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain
itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang
merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan
dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan
cara yang sama.
KESIMPULAN
Teori
kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan
sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang
bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang
kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan
tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat,
teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial
empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam
konteks kekinian.
Dalam
perkembangannya, terdapat banyak tokoh dengan karakteristik pola teori kritis
yang berbeda-beda, yang masing-masing dipengaruhi oleh keadaan zamannya seperti
yang telah di jelaskan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar