Jumat, 03 April 2015

TEORI KRITIS



BAB I
PENDAHULUAN

                    I.            Latar Belakang
Seiring dengan perkembangannya, Ilmu Hubungan Internasional diperkaya dengan munculnya pandangan-pandangan dan teori-teori baru yang dimunculkan oleh para ahli. Pada beberapa peristiwa, seringkali teori-teori baru yang muncul, lahir dari pengamatan yang mendalam oleh para ahli terhadap sebuah perspektif dan/atau teori yang lebih tua. Pengamatan tersebut seringkali kemudian memunculkan kritik atau ide dan gagasan yang mendorong kelahiran pandangan dan teori-teori baru. 
Lahir dari sekumpulan ahli dan ilmuwan dari Jerman, Teori kritis muncul sebagai kritik terhadap teori-teori tradisional dalam Ilmu Hubungan Internasional seperti Realisme, Liberalisme, dan Marxisme. Secara harafiah, teori kritis diartikan sebagai teori yang ngkritisi teori yang sebelumnya sudah ada dan mengharuskan manusia bersikap kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan manusia dan hubungan teori terhadap manusia (Steans dan Pettiford 2009). Teori Kritis yang juga disebut sebagai Frankfurt School ini muncul dengan unsur utopis, selalu memperbaiki diri, dan keinginan untuk selalu menjadi yang paling sempurna (Wardhani, 2013). Teori kritis hadir dengan mempertanyakan dan mempermasalahkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Teori kritis juga memiliki kecenderungan bersifat emansipatori atau membebaskan. 
Salah satu argumen besar yang diungkapkan oleh teoritisi kritis adalah kritik dan penolakannya terhadap 3 postulat dasar positivisme (Jackson dan Sorensen 2005). Postulat pertama, tentang realitas eksternal objektif. Menurut teori kritis, hukum sosial sifatnya tidak kekal melainkan historis. Sistem internasional tidak muncul secara alami, melainkan merupakan bentukan negara-negara kuat. Teori kritis mengungkapkan pandangannya bahwa sesungguhnya tidak ada politik dunia yang berjalan sesuai dengan hukum sosial kekal, karena pada dasarnya hukum sosial sifatnya tidak pernah kekal (Jackson dan Sorensen 2005). Postulat dasar positivisme kedua yang dikritik oleh teori kritis adalah terkait dengan perbedaan subjek dan objek. Kaum positivis memandang bahwa subjek dan objek adalah dua hal yang secara mendasar berbeda, sementara sebaliknya, bagi teoritisi kritis, kedua hal tersebu adalah sama. Hal ini dapat dilihat penerapannya pada pengembangan teori-teori tradisional di masa lampau. Menurut teori kritis, teori-teori tradisional di masa lalu terlalu tidak terjangkau (Wardhani 2013), dimana terdapat jarak yang lebar antara subjek peneliti dengan objek penelitiannya. Hal ini membuktikan bahwa subjek dan objek adalah dua hal yang sangat berbeda. Postulat positivis yang ketiga yang juga dikritik oleh teoritisi kritis adalah tentang pandangan kaum positivis yang mengatakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu yang bebas nilai. Teori kritis menentang keras pandangan kaum positivis tersebut lantaran menurut teori kritis, ilmu pengetahun, dan teori tidak akan pernah bersifat netral, baik secara moral, maupun secara pribadi atau ideologis (Jackson dan Sorensen 2005). Hal ini dijelaskan dengan memaparkan bahwa semua bentuk pengetahuan selalu bersumber pada pengamat dan ilmuwan, yang pada dasarnya tidak akan pernah bersifat netral atau bebas nilai. Pengamat dan ilmuwan yang menjadi pemrakarsa dan/atau pengembang ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat membebaskan dirinya dari nilai-nilai atau pengaruh keadaan lingkungan disekitarnya. Oleh sebab itu, sesungguhnya pengetahuan merupakan cerminan kepentingan dari para pengamat (Jackson dan Sorensen 2005). 
Dalam perkembangannya, teori kritis banyak dipengaruhi oleh pandangan kaum marxis. Teori kritis menentang penguasaan kaum borjuis atas kaum proletar dan oleh sebab itu teoritisi kritis mencari dan mengembangkan pengetahuan dengan tujuan untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dunia yang dikendalikan oleh negara-negara kuat khususnya Amerika Serikat (Jackson dan Sorensen 2005). Teori kritis berusaha mendobrak dominasi negara-negara kaya di bumi bagian Utara atas negara-negara miskin di bagian Selatan. Menurut pandangan teoritisi kritis, negara kuat dan negara lemah tidak muncul dengan alami, sebaliknya mereka muncul oleh konstruksi negara-negara kuat itu sendiri (Wardhani 2013), yang kemudian cenderung berusaha dipertahankan. Negara-negara kuat juga cenderung menguasai ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang bagi teoritisi kritis dipandang sebagai bentuk power. Negara-negara kuat tersebut, dengan dominasi mereka atas ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul sebagai aktor-aktor yang menguasai dunia. 
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa teori kritis merupakan perspektif yang memandang bahwa ilmu pengetahuan sifatnya selalu politis. Ilmu pengetahuan selalu memuat kepentingan-kepentingan pengamatnya, yang walau berusaha menjadi pribadi bebas nilai namun menurut teoritisi kritis tidak akan pernah bisa karena sampai kapanpun, lingkungan akan selalu mempengaruhi perkembangan pribadi, yang dalam hal ini adalah pengamat. Sumbangan terbesar teori kritis pada perkembangan Ilmu Hubungan Internasional adalah sifatnya yang selalu ingin mengembangkan diri dan sifatnya yang selalu ingin tidak terpisah dengan masyarakat. Teori kritis berusaha mendekatkan subjek dengan objek pengamatannya, yang menurut teoritisi kritis berbeda. Sumbangan terbesar lain yang telah disumbangkan teori kritis pada Ilmu Hubungan Internasional adalah sifatnya yang kritik imanen, atau terus mengkritik dan mempertanyakan tanpa henti. Hal ini kemudian, pada pengembangan Ilmu Hubungan Internasional sangat berguna karena dengan terus mempertanyakan dan mengkritik, maka akan terus timbul pandangan-pandangan baru yang besar kemungkinan akan membawa perkembangan dan perubahan pada Ilmu Hubungan Internasional itu sendiri.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Teori Kritis
B.     Tujuan dan Karakteristik Teori Kritis
C.     Contoh Fenomena Teori Kritis (Feminisme)
D.    Tokoh-tokoh Gerakan Feminisme








BAB II
PEMBAHASAN
2. I     Pengertian Teori Kritis
                Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis; yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya norma-norma kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada. Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
            Teori Kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap stuktur yang rill dibalik ilusi kebutuhan-kebutuhan yang salah yang dinampakan dunia materi dengan uuan membantu membentuk suatu keadaan sosial agar memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan manusia.
2. 2      Tujuan dan Kaarakteristik Teori Kritis

            Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.

2. 3     Macam-Macam Teori Kritis ( Dikhususkan pada Feminisme)
1.      Feminisme

Studi feminisme adalah label ”gender” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.
1.      Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut  Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.
2.      Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
3.      Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari     kelompok.
4.      Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa?
5.      Pemilihan penulis dan penerbit media.
Dalam kaitan dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970 menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa ”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan dan kegiatan perempuan”.
Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.
Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :
1.      Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2.      Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
3.      Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian :
1.      Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
2.      Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi dirinya dari sistem perempuan.
3.      Hipotesis ke-3 ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat, kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.
4.      Perempuan cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki.
5.      Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
6.      Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.
7.      Perempuan memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

ALIRAN-ALIRAN DALAM FEMINISME
1)      Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
2)      Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
3)      Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
4)      Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

5)      Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
6)      Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
7)      Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
8)      Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial Negara.







TOKOH DALAM FEMINISME

1.             Foucault : Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
2.             Naffine (1997:69) : Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.
3.             Derrida (Derridean) : Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.








KESIMPULAN
   Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak tokoh dengan karakteristik pola teori kritis yang berbeda-beda, yang masing-masing dipengaruhi oleh keadaan zamannya seperti yang telah di jelaskan di atas.












           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar