A.
Biografi
Khalifah
Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara sepupu
Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi SAW, suami
dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya
putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah inilah
Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul
Muthalib, kemudian setelah kakeknya meninggal di asuh oleh pamannya Abu Thalib.
Karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya,
maka Ali di asuh Nabi SAW dan di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam
amat luas. Karena dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk
orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Keberaniannya
juga masyhur dan hampir di seluruh peperangan
yang dipimpin Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.
Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak
Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting.
Begitu pula Umar bin Khathab tidak mengambil
kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah
dengan Ali. Utsman pun pada masa permulaan jabatannya dalam
banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan.
Demikian pula, Ali juga tampil membela
Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak (Pulungan,
1997:40).
B.
Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dalam
pemilihan Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan Khalifah terdahulu
(Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn Affan), meskipun mula-mula
terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon terpilih dan
diputuskan menjadi Khalifah, semua orang menerimanya dan ikut berbaiat serta
menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali bin
Abi Thalib, justru sebaliknya.
Setelah
terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat
beramai-ramai datang dan membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah. Beliau diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan tetapi
suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior
masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali
bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi Khalifah
dalam pemerintahan Islam.
Pro dan
kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah di karenakan beberapa
hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi Khalifah,
bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga
Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama
pemerintahan Khalifah Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan
kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh
Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan
menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung
melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami (Syalaby, 1997:283).
C.
Permasalahan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Tidak
berfungsinya konsep kekhalifahan pada masa Ali ibn Abi Thalib, pertama
disebabkan karena pembunuhan terhadap Khalifah Ustman masih misterius, tidak
diketahui siapa pembunuhnya. Karena itu ada dugaan bahwa yang membunuh adalah
kelompok Ali. Keadaan ini oleh sebagian pendapat dipolitisir untuk mempertajam
pertentangan kesukuan antara Bani Hasyim (Ali) dengan Bani Umayyah (Ustman). Kedua,
elite pemerintahan khususnya dari kalangan Gubenur Syiria tidak menginginkan
Ali tampil sebagai Khalifah. Sebab Ali yang alim dan zuhud itu sudah barang
tentu tidak suka melihat gubenurnya yang berorientasi pada kemewahan Dunia.
Dengan kata lain munculnya Ali sebagai Khalifah akan merugikan orang elite
Islam yang cinta pada kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat memimpikan
kualitas kepemimpinan seperti pada zaman Khalifah sebelumnya. Berdasarkan
skenario inilah muncul konsep pemboikotan terhadap Ali sebagai Khalifah.
Pemerintahan
Ali adalah pemerintahan yang mencoba mendasarkan pada dasar-dasar hukum agama
Islam. Hal tersebut terlihat ketika Ali hendak mengembalikan umat kepada
kehidupan seperti zaman Rasulullah, dimana orang-orang bekerja dan berjihad
semata- mata karena Allah. Disamping itu fakta sejarah juga menunjukkan
adanya klaim bahwa Ali adalah seorang pemuda yang cerdas, berani dan mempunyai
pengetahuan agama yang dalam, hal ini juga diakui Rasulullah lewat Hadist beliau
yang berbunyi: “aku adalah bagaikan kota ilmu dan Ali adalah pintunya”
Dengan
pemahaman yang dalam tentang agama Islam maka langkah pertama yang ia lakukan
setelah menjabat menjadi Khalifah, antara lain yaitu mengganti seluruh
Gubernur/wali-wali daerah yang dulu diangkat Ustman secara nepotisme dan
mencabut kembali segala fasilitas yang diberikan Ustman pada familinya. Karena
hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama yang memerintahkan agar berlaku
adil kepada siapa saja.
Sementara
itu sejak awal berlangsungnya proses
pemilihan, pembai’atan, sampai pada saat Ali menjabat sebagai
Khalifah ia terus saja dihadapkan pada suasana politik yang rumit karena
banyaknya rongrongan dari berbagai pihak yang bermaksud menjatuhkan kekhalifahan
Ali. Adapun alasan pihak-pihak yang merongrong kekhalifahan Ali adalah:
1.
Sebagian kaum muslimin memandang bahwa menyerahkan kursi Khalifah kepada Ali
berarti penyerahannya turun-temurun kepada Bani Hasyim.
2. Jika
pemerintahan dipegang Ali maka dikhawatirkan tipe kepemimpinan
Ali akan sama dengan tipe kepemimpinan Umar Ibn Khatab yang terkenal
jujur, keras dan disiplin. Sehingga orang-orang yang pada masa Ustman merasakan
kesenangan hidup enggan untuk melepas kesenangan tersebut (Syalaby, 1997:282) .
Selain adanya pihak-pihak yang tidak menyukainya, Ali juga direpotkan dengan
gencarnya desakan yang menuntut penuntasan
tragedi pembunuhan Ustman, yang ternyata mereka tidak
sekedar mendesak bahkan akhirnya mereka menyatakan perang dengan Ali dan
merongrongnya selama Ali belum mengabulkan tuntutannya.
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas maka banyak orang-orang yang tidak menyukai Ali. Akan
tetapi tidak ada orang yang ingin diangkat sebagai Khalifah, karena Ali masih
ada. Maka setelah memperhatikan situasi yang sulit pada waktu itu dapatlah
diambil kesimpulam bahwa pembaiatan Ali sebagai Khalifah
tidaklah dilakukan kaum Muslim dengan sepenuh hati,
terutama bani Umayyah, yang akhirnya mereka mempelopori orang- orang agar tidak
menyetujui Ali.
D.
Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib
Menurut
Thabani yang dikutip oleh Syalaby
(1982:284-296) setelah Ali dibaiat menjadi Khalifah, ia
mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu:
1. Memecat
kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2. Mengambil
kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum
kerabatnya tanpa jalan yang sah. Menanggapi kebijakan yang
dilakukan okleh Ali tersebut, ada yang
berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang
persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya
gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali,
terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali. Penulis memandang
bahwa tindakan politik Ali yang radikal itu kendati strategis tapi tidak
taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik etnis antara Bani Ummayyah dan
Bani Hasyim sudah ada, terbukti ketika
Ustman terbunuh secara misterius Bani Ummayyah
mengeksploitasi tuduhan pada Ali, karena
didasari Bani Umayyah yang memang ambisi menjadi
Khalifah. Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite Bani Umayyah
dilakukan secara bertahap, sebab walau bagaimanapun
elite baru yang telah lama berkuasa seperti
Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan
dukungan masyarakat bawah beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang
pengalaman dalam menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan
demikian yang muncul dalam pemerintahan bukan integrasi tetapi disintegrasi
yang ditandai dengan lahirnya perang saudara yang pertama kali dalam Islam,
yakni perang jamal.
E. Perang
Jamal
Selama
masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam
pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat
Gubernur yang diangkat oleh Khalifah Ustman. Beliau yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu
beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Ustman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali
sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah
diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab (Hasan, 1989:82). Menyikapi berbagai
kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya
digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan Syadzali,1993:27). Diantaranya
adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan
keluarga Usman sendiri dengan alasan:
1. Ali harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya Khalifah Ustman.
2. Wilayah Islam telah meluas dan
timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru. Oleh karena itu hak
untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang
berada di Madinah saja. Namun karena situasi politik yang gawat pada waktu itu
sehingga permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam
waktu dekat. Seperti yang telah ditulis para sejarawan suasana politik pada
saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai
pihak, terutama pihak-pihak yang tidak
menyetujui dan mengakui Ali menjabat sebagai Khalifah keempat.
Melihat
keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius
yang dilakukan Ali adalah memulihkan,
mengatur dan menguatkan kembali posisinya sebagai
Khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi
(Mahmudunnasir,1984:145). Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan
Ustman. Namun sejak tahun 35 H/656 M,
tahun pengangkatan Ali sebagai Khalifah sampai
tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk
menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Ustman. Sehingga Siti
Aisyah bergabung dengan Tolhah dan Zubair
menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas
kematian Ustman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar Siti Aisyah
dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan
Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan
untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya
ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair
agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya
pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”.
Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Pertempuran
inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh
kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih
berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami
kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul
Mu’minin. Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan
perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan
pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh
saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar.
Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan perang
pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.
F.
Perang Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur di Damaskus,
Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan
keluarga dekat Ustman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali
mengadili pembunuh Ustman. Bahkan mereka menuduh Ali
turut campur dalam pembunuhan Ustman. Selain itu mereka tidak
mengakui kekhalifahan Ali(Nasution,1986:14). Hal ini bisa dilihat dari situasi
kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung jubah Ustman yang berlumuran
darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbar masjid. Sehingga hal
itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan adanya
peristiwa tersebut pihak umum berpendapat bahwa Khalifah Ali yang bertanggung
jawab atas pembunuhan Ustman.
Pada akhir
Dzulhijjah 36 H/657 M, Khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria
utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus
sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyyah dan pihak Muawiyyah tidak
mengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Khalifah Ali mengirim
utusan pada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun
Mu’awiyah menolak. Akhirnya Khalifah Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan
panglima Asytar al Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut.
Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan
tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya. Setelah sengketa tersebut selesai
maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran siffin, dan Khalifah Ali
masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Beliau mengirim
utusan dibawah pimpinan panglima Basyir Ibn Amru untuk melangsungkan
perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka
mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara dan
masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.
Sebenarnya
hal ini sangat merugikan Khalifah Ali karena akan mengurangi semangat tempur
tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagai Khalifah
ia terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat Nisa’
ayat 59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat di fahami
mengapa Khalifah Ali menempuh jalan damai dahulu. Jawaban terakhir dari pihak
Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dan sebaliknya menuntut Ali
mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan saffar 37H/685 M terjadilah
perang siffin dengan kekuatan 95 000 orang dari pihak Ali dan 85 000 orang dari
pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar Ibn Yasir (orang pertama yang masuk
Islam di kota Makkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini
membangkitklan semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali,
sehingga banyak korban pada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al Nahki
berhasil menebas pemegang panji- panji perang pihak Mu’awiyah dan merebutnya.
Bila panji perang jatuh pada pihak lawan maka akan melumpuhkan semangat tempur.
Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah, Amru Ibn Ash memerintahkan
mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berseru marilah kita bertahkim
kepada kitabullah. Namun pada saat itu Khalifah Ali memerintahkan untuk tetap
berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh. Tapi sebagian besar
tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telah meminta
bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkan
diantara panglima pasukannya Mus’ar Ibn Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali ,
mari berserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat
terhadap anda seperti apa yang kami perbuat pada Usman”
(Suaib,1979:496).Akhirnya Khalifah Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi
orang-orang sendiri. Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000
orang dari pihak Ali dan 45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.
Peperangan
ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase). Akan tetapi hal itu tidak dapat
menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tiga
golongan (Yatim, 1998:41). Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali,
pengikut Mu’awiyah dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali).
Akibatnya, diujung masa pemerintahan Ali, Umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik.
G. Perang
Nahrawan
Setelah
terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Khalifah yang
menerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya
dikenal dengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
1. Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta
pengikutnya adalah kelompok kufur karena telah mempermainkan nama Allah dan
kitab Allah dalam perang siffin, maka mereka wajib di basmi.
2. Ali dan pihak-pihak
yang mendukung terbentuknya majlis tahkim
adalah ragu terhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal
banyak korban yang jatuh untuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
3. Dan yang membenarkan pembentukan
majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan membasmi kaum bid’ah adalah
kewajiban setiap Muslim.
4. Pemuka kelompok ini adalah Abdullah
Ibn Wahhab al Rasibi. Sebenarnya Khalifah Ali tidak ingin memerangi kelompok
Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap diantaranya
membunuh keluarga shahabat Abdullah Ibn Habbab dengan sadis sekali hanya karena
menolak untuk menyatakan ke empat Khalifah sepeningggal nabi adalah
kufur, selain itu mereka juga membunuh
utusan yang diutus oleh Khalifah Ali.
5. Khalifah Ali
menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan
bertemu pada suatu tempat bernama Nahrawan, terletak
dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum
perang diumumkan, Khalifah Ali masih punya harapan untuk menyadarkan kaum
Khawarij. Dan dia memberikan amnesti
bersyarat yang berbunyi: barang siapa pulang
kembakli ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan. Sejarah mencatat setelah
itu 500 orang diantara mereka ber-iktijal sebagian pulang ke Kufah dan
sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800
orang (Mufradi,1997:66).Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban
berjatuhan dari pihak Ali karena keberanian kelompok Khawarij
sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan
berada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah Ibn
Wahab tewas dalam peperangan ini
Golongan
Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yang
bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan
kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya
sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sangat fatal
pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah,
sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar,
keberhasilan Mu’awiyah mengambil posisi Mesir berarti
merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.
H.
Pengangkatan Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah
Kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengalami
keadaan stabil. Tak ubahnya beliau sebagai
seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi
baik justru sebaliknya bertambah sobek dan rusak.
Pada saat
Ali bin Abi Thalib bersiap-siap hendak mengirim bala tentaranya sekali lagi
untuk memerangi Mu’awiyah, muncullah suatu komplotan untuk mengakhiri hidup Ali
bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al ‘Ash yang dianggapnya
penipu pada peristiwa takhkim (arbitrase). Mereka adalah dari golongan Khawarij
yang mengutus Abdur Rahman bin Muljam ke Kufah untuk membunuh Khalifah Ali,
Barak bin Abdillah untuk membunuh Mu’awiyah di Syam dan ‘Amr bin Bakr al Tamimi
untuk membunuh ‘Amr bin al ‘Ash di Mesir (Syalaby, 1971:306). Akan tetapi
ketiga pembunuh itu hanyalah Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya
yaitu membunuh Khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadlan 40 H(660 M). Kemudian Ibnu
Muljam berhasil ditangkap dan akhirnya dibunuh juga.
Dengan
berpulangnya Ali bin Abi Thalib ke rahmatullah
kedudukannya sebagai Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya
yaitu Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun
karena Hasan ternyata lemah sementara
Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali
membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun
41 H (661 M) merupakan tahun persatuan,
yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah).
Dengan
demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa khulafa’ al rasyidin dan
dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik Islam (Yatim,
1998:41).
Hasan Ibn
Ali adalah putra sulung Ali bin Abi Thalib ra. Ia diangkat beramai-ramai sebagai
Khalifah oleh orang-orang Kufah setelah ayahnya wafat. Orang-orang yang setia
pada Ali turut berpartisipasi dalam pemilihan Hasan dan juga menerimanya
sebagai Khalifah yang baru. Tidak ada bukti yang menyatakan pertentangan
terhadap penobatan Hasan. Sedangkan pemilihan Hasan sebagai Khalifah dilakukan
secara spontan oleh sebagian besar rakyat Irak. Adapun alasan penunjukan
Hasan sebagai Khalifah adalah:
1. Pada
saat itu hampir semua sahabat istimewa Rasulullah dikalangan kaum muhajirin
telah meninggal, demikian juga anggota elit terkemuka dalam masyarakat Islam
telah wafat.
2. Rakyat
Makkah dan Madinah tidak akan menerima Mu’awiyah menjadi pemimpin mereka.
Karena bapaknya, Abu sofyan dianggap telah menentang Rasulullah semasa hidupnya
(Jafri, 1995:184-185).
Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa Hasan memperoleh dukungan yang besar dari
rakyatnya, karena pada waktu itu yang menjadi rival dari Hasan adalah Mu’awiyah
putra Abu sufyan dan Hindun yang mempunyai reputasi buruk dimata rakyat Irak.
Selanjutnya antara keduanya terjadi ketegangan yang mereka lakukan dengan cara
korespondensi. Salah satu surat Hasan yang penting yang di tujukan kepada
Mu’awiyah mengatakan bahwa: “dirinya lebih berhak atas Khalifah ketimbang
Mu’awiyah dimata Allah dan semua insan yang mengetahui”. Dan jawaban Mu’awiyyah
intinya adalah: Mu’awiyah tidak mengingkari kedudukan tinggi Hasan dalam
hubungannya dengan Rasulullah dan kedudukannnya dalam Islam. Tetapi ia
mengklaim bahwa Hasan bukan kriteria pemimpin masyarakat. Bahwa persoalan
kepemimpinan adalah kepentingan negara dan masyarakat, sehingga perlu pemisahan
yang jelas antara prinsip politik dan religius. Itulah jawaban dari Mu’awiyah
yang mengandung gagasan pembentukan pemisahan antara kepemimpinan negara dan
agama. Pimpinan negara hanya mengurusi pemerintahan sedangkan pimpinan agama
khusus mengurusi masalah-masalah agama. Sehingga pada
waktunya, masyarakat Muslim menempatkan kepemimpinan religius dan
totalitas masyarakat (jama’ah) sebagai penjaga agama dan eksponen
al-quran dan hadist, yang masih dalam
otoritas negara sebagai pengikat (Jafri, 1995:191-193)
Adapun
mengenai proses pengunduran diri Hasan sebagai Khalifah dan menyerahkannya pada
Mu’awiyah terdapat versi yang berbeda. Pengunduran diri Hasan menurut Thabari
dalam Jafri (1995:211-212) menyebutkan:
1. Bahwa
Khalifah akan dikembalikan kepada Hasan setelah Muawiyah mati.
2. Bahwa
Hasan akan menerima lima juta dirham tiap tahun dari kantong negara.
3. Bahwa
Hasan akan menerima pendapatan tahunan dari Darabjirk.
4. Bahwa
rakyat akan dijamin untuk saling damai
Kemudian
Muawiyah menyetujui syarat-syarat Hasan tersebut dan meminta Hasan
menuliskannya sendiri pada blanko kosong. Lalu Hasan menjawab: mengenai uang,
Mu’awiyah tak dapat hanya menyerahkan persoalan padaku, karena masalah itun
merupakan masalah Muslim (masyarakat). Sedangkan masalah Khalifah dia tak
tertarik lagi. Berikut ini syarat damai Hasan bin Ali kepada Muawiyah:
1. Bahwa Mu’awiyah harus memerintah
menurut kitab Allah, sunnah rasulullah dan perangai khulafaur rasyidin.
2. Bahwa Muawiyah untuk
selanjutnya akan menyerahkan jabatan Khalifah
kepada syura kaum muslimin.
3. Bahwa rakyat akan dibiarkan damai di
bumi Allah.
4. Bahwa para sahabat dan pengikut Ali
akan di jamin aman dan damai. Ini adalah persetujuan dan perjanjian sesuai yang
di buat dengan nama Allah.
5. Bahwa tidak ada gangguan secara
rahasia atau terbuka akan ditimpakan kepada Hasan bin Ali
atau saudaranya Husain ataupun terhadap
seorang dari keluarga rasulullah.
Demikian
perjanjian penyerahan kekhalifahan dibuat. Namun
pengunduran diri Hasan tidak disenangi para pendukungnya yang telah
mendukung dirinya dan ayahnya sebelumnya, terlebih lagi karena kebencian mereka
atas dominasi Syiria. Adapun sebab umum pengunduran diri Hasan didorong karena
sifat cinta damai, tidak menyetujui politik dan perselisihan dan hasrat
menghindari tumpah darah lebih banyak.
I. Catatan
Simpul
Pembaiatan
Ali sebagai Khalifah sebenarnya merupakan simbol ketidak mapanan konsep
Khalifah sebagai instrumen legitimasi kepemimpinan Islam. Dalam arti lembaga
musyawarah untuk memilih pemimpin yang disebut lembaga kekhalifahan belum
diakui oleh para elite politik itu sendiri.
Sehingga kekhalifahan Ali dapat diguncang oleh
kelompok opposisi yang berambisi menjadi Khalifah atau Amirul Mukminin.
Ketika Ali
menjadi Khalifah ada dua kelompok oposisi yang menentang kekhalifahan Ali,
yaitu kelompok oposisi yang dipimpin oleh Abdullah Ibnu Zubair ( anak angkat
Siti Aisyah ) dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh gubenur Syria, yaitu
Muawiyah Ibnu Sufyan. Kelompok oposisi pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan
perang yang populer dengan sebutan perang Jamal, karena dalam perang tersebut
terlibat Siti Aisyah dengan mengendarai unta yang berdiri dipihak
oposisi. Mengapa Aisyah dalam perang tersebut berada dipihak oposisi. Hal
tersebut semata–mata karena kuatnya exploitasi Abdullah Ibnu Zubair atas
ambisinya untuk menjadi Khalifah setelah Ali terguling. Yang secara kebetulan
Aisyah pada saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok Ali tentang siapa
yang membunuh Khalifah Ustman. Kondisi yang demikian inilah dimanfaatkan oleh
Abdullah bin Zubair.
Kelompok
oposisi pimpinan Mu’awiyah, gubenur Syiria melahirkan peperangan yang terkenal
dengan sebutan Perang Shiffin. Perang tersebut diakhiri dengan genjatan
senjata, mengangkat Mushaf Al–Qur’an. Peperangan ini terjadi tidak disebabkan
oleh interest politik pribadi Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik
etnis yang bersifat laten zaman sebelum Islam, yaitu antara
Bani Ummayyah dan Bani Hasyim. Sebenarnya
Ali telah berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan tetapi
pendukung Ali sendiri tanpa instruksi beliau, memulainya sehingga pecahlah
perang yang sangat merugikan integrasi Islam itu.
Kekalahan
Ali dalam diplomasi perang tersebut, menyebabkan Dunia Islam diperintah
berdasarkan sistem monarchi, yaitu suksesi kepemimpinan yang berdasarkan turun-
temurun. Disamping itu, kekalahan Ali dalam perangan tersebut, menyebabkan
lahirnya golongan Syi’ah, dengan doktrin, bahwa hanya Ali dan keturunannyalah
yang berhak menjadi Khalifah.
Daftar
Pustaka
Amin
Samsul Munir, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta : Amzah, 2009.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar