A. Pendahuluan
Dalam tradisi
penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, etnografi dikenal sebagai
salah satu tradisi kualitatif selain penelitian biografi[1][1], fenomenologi[2], grounded research[3][3], dan studi kasus[4][4]. Penelitian etnografi
diidentikan dengan kerja antropologi, dengan dasar selain sebagai founding
father, penentu cikal bakal lahirnya antropologi, juga karena karakter
penelitian etnografi yang mengkaji secara alamiah individu dan masyarakat yang
hidup dalam situasi budaya tertentu. Karena itupula etnografi dikenal sebagai naturalistic inquiry (Lincoln &
Guba, 1995).
Istilah Etnografi berasal dari bahasa Yunani yaitu ethnos (bangsa) yang berarti orang atau folk. Sementara Graphein (menguraikan) berarti penggambaran sesuatu (Neuman, 2000).
Etnografi secara harfiah dapat dipahami sebagai
upaya penggambaran (mendeskripsikan) suatu budaya atau cara hidup
orang-orang dalam sebuah komunitas tertetu, atau menurut Atkinson (1992)
diartikan sebagai penulisan budaya, deskripsi tertulis mengenai sebuah budaya
berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Secara khusus etnografi dapat dipahami
sebagai usaha memahami tingkah laku manusia ketika mereka berinteraksi dengan
sesamanya di suatu komunitas.
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya
atau system kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari
pola perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan
hasil dari sebuah penelitian. Sebagai sebuah proses, etnografi melibatkan
pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, sehingga peneliti
memahami betul bagaimana kehidupan keseharian subjek penelitian tersebut (Participant observation, life history), yang kemudian diperdalam
dengan indepth interview terhadap
masing-masing individu dalam kelompok tersebut. Dengan demikian penelitian
etnografi menghendaki etnografer /peneliti : (1) mempelajari arti atau makna
dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok dalam situasi budaya tertentu, (2) memahami budaya atau aspek
budaya dengan memaksimalkan observasi dan interpretasi perilaku manusia yang
berinteraksi dengan manusia lainnya, (3) menangkap secara penuh makna realitas
budaya berdasarkan perspektif subjek penelitian ketika menggunakan symbol-simbol
tertentu dalam konteks budaya yang spesifik.
B.
Etnografi sebagai
Metode Penelitian
Untuk memahami
etnografi sebagai salah satu metode penelitian sosial yang mengkaji persoala
budaya individu atau masyarakat, maka
dapat ditelusuri dari beberapa pemaparan sebagai berikut :
1. Dasar pijak, karakter dan asumsi dasar
Sebagai metode penelitian, etnografi memiliki beberapa teori dasar yang
dapat dijadikan pijakan untuk memperkuat posisi etnografis secara metodis.
Teori-teori dimaksud adalah teori interaksionisme simbolik[5][5] dan teori
fenomenologi, termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi. Keberadaan teori
tersebut dapat dijadikan penopang etnografi karena perhatiannya pada aspek
budaya dalam kehidupan individu dan masyarakat. Teori interaksionisme simbolik
misalnya, lebih melihat budaya sebagai system simbolik dimana makna tidak
berada dalam benak manusia, tapi makna dan symbol itu terbagai actor sosial di
antara, bukan di dalam dan mereka adalah umum tidak mempribadi. Budaya
merupakan lambang-lambang makna yang terbagi secara bersama. Budaya juga
merupakan pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan
pengalaman dan menyimpulkan prilaku sosial (Spradley, 1979)
Untuk memberikan penguatan secara metodis selama di lapangan, dan
memberikan kekuatan dalam memaknai realitas atau prilaku individu dan
masyarakat dalam budaya tertentu, maka “sentuhan” fenomenologi menjadi begitu
penting, minimal memberikan arah bagi etnografer untuk tidak sekedar melihat
realitas yang terjadi di lapangan begitu saja, melainkan memandu etnografer
untuk lebih jeli dan memelihat dibalik setiap realitas yang terjadi. Untuk
penelitian etnografi yang menggunakan pola pikir konstruksi sosial, lebih
diarahkan pada upaya “pelacakan” etnografer terhadap proses bagaimana individu
dan masyarakat mengkonstruksi pola pikirnya melalui tiga proses, yaitu
internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi. Dalam konteks inipula, dapat
dipahami bahwa budaya yang ada dalam masyarakat bukan lahir dengan sendirinya,
namun lahir dari sebuah proses konstruksi sosial yang dilakukan individu
didalam dan bersama masyarakat.
Sementara etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan
individu-individu manusia untuk membangun dan memahami kehidupan mereka
sehari-hari (Bogdan dan Biklen, 1982).
Melalui dasar pijak teoretis tersebut, menjadikan etnografi sebagai metode
penelitian memiliki nilai kekhasan yang berbeda dengan metode penelitian sosial
lainnya. Kekhasan metode penelitian etnografi menurut Emzir (2012) dapat
dilihat dari karakternya, sebagai berikut :
a. Perilaku manusia dikaji dalam konteks sehari-hari,
bukan dibawah kondisi eksperimental yang diciptakan oleh peneliti.
b. Data dikumpulkan dari suatu rentangan sumber, tetapi
observasi dan percakapan yang relative informal biasanya lebih diutamakan.
c. Pendekatan untuk pengumpulan data tidak terstruktur
dalam arti tidak melibatkan penggunaan suatu set rencana terperinci yang
disusun sebelumnya, juga tidak menggunakan kategori yang telah ditetapkan
sebelumnya untuk penginterpretasian apa yang dikatakan atau dilakukan orang.
Ini tidak berarti bahwa penelitian tidak sistematis, hanya pada awalnya data
dikumpulkan sebagai suatu format mentah, dan sebisa mungkin sebagai medan yang
luas.
d. Fokus penelitian biasanya merupakan suatu latar
tunggal atau kelompok dari skala yang relative kecil. Dalam penelitian sejarah
kehidupan focus penelitian dapat berupa individu tunggal.
e. Analisis data melibatkan interpretasi arti dan fungsi
tindakan manusia dan sebagian besar mengambil format deskripsi verbal dan
penjelasan, dengan kualifikasi dan analisis statistic yang kebanyakan memainkan
peranan subordinat.
f. Etnografi merupakan
suatu pernyataan teoretis tentang orang-orang yang diteliti, sebuah teori
sebuah budaya
g. Etnografi dirancang untuk menjadi bagian dari kumpulan
pengetahuan komparatif mengenai hubungan masyarakat.
Karakter khas dari metode etnografi semakin menjadi
jelas, ketika asumsi-asumsi yang dibangun dan dimiliki etnografi mengarah pada
pemahaman terhadap keberadaan/peran/makna budaya dalam sebuah masyarakat.
Asumsi-asumsi itu menurut menurut Emzir (2012) dapat diuraikan sebagai berikut
:
a. Etnografi mengasumsikan
kepentingan penelitian yang prinsip terutama dipengaruhi oleh pemahaman
cultural masyarakat. Metodologi secara sungguh-sungguh menjamin bahwa pemahaman
cultural umum akan diidentifikasi untuk kepentingan peneliti di tangan.
Interpretasi tepat menempatkan tekanan besar pada kepentingan kausal dari
pemahaman kultual seperti itu. Terdapat suatu kemungkinan bahwa focus etnografi
akan mempertiimbangkan secara berlebihan peran persepsi budaya dan tidak
mempertimbangkan peran kausal kekuatan-kekuatan objektif.
b. Etnografi
mengasumsikan suatu kemampuan mengidentifikasi masyarakat secara relevan dari
kepentingan. Dalam banyak latar, ini mungkin menjadi sulit. Masyarakat,
organisasi formal, kelompok non formal dan persepsi tingkat local semuanya
mungkin memainkan peran dalam banyak subjek yang diteliti, dan kepentingan ini
mungkin bervariasi menurut waktu, tempat dan masalah. Terdapat suatu
kemungkinan bahwa focus etnografi mungkin secara berlebihan memandang peran
budaya masyarakat dan tidak memberikan pandangan pada peran kausal dari
kekuatan psikologis individual atau bagian masyarakat.
c.
Etnografi
mengasumsikan peneliti mampu memahami kelebihan cultural dari masyarakat yang
diteliti, menguasai bahasa atau jargon teknis dari kebudayaan tersebut, dan memiliki
temuan yang didasarkan pada pengetahuan komprehensif dari budaya tersebut.
Terdapat suatu bahasa bahwa peneliti mungkin memasukkan bias terhadap pandangan
budayanya sendiri.
d. Sementara tidak
inheren bagi metode, penelitian etnografi lintas budaya yang menghindari risiko
asumsi yang keliru bahwa pengukuran yang ada memiliki makna yang sama lintas
budaya.
2.
Jenis dan Prinsip
Metodologis Penelitian Etnografi
Sebagai sebuah metode penelitian yang lahir dari
pemahaman terhadap budaya sebuah masyarakat, etnografi mengalami perkembangan,
dalam metode ini berdasarkan perkembangan waktu berdasarkan pemikiran Spradley
mengalami perubahan dan perkembangan dari sisi pola kerja hingga pada pola
analisis yang digunakan. Berikut ini adalah perjalanan metode etnografi
sebagaimana yang disusun oleh Spradley.
a. Etnografi
awal (akhir abad ke-19).
Etnografi awal dimaksudkan untuk membangun
tingkat-tingkat perkembangan evolusi budaya manusia dari masa manusia mulai
muncul di permukaan bumi sampai ke masa terkini. Seperti layaknya analisis
wacana, para ilmuwan pada saat itu melakukan kajian etnografi melalui
tulisan-tulisan dan referensi dari perpustakaan yang telah ada tanpa terjun ke
lapangan. Pola kerja seperti bisa dikatakan dengan pola kerja yang dilakukan
ilmuwan sejarah/arkeologi/antropologi yang hanya terfokus pada pemahaman mereka
terhadap budaya manusia melalui naskah-naskah yang tersimpan dalam sebuah
perpustakaan. Namun, akhir abad ke-19, pola kerja dan legalitas penelitian ini
mulai dipertanyakan, mengingat tidak ada fakta yang dapat dijadikan pendukung
peneliti dalam mengintepretasikan data, kecuali hanya menginterpretasikan
naskah yang dibaca tanpa pernah tahu dan mengerti realitas budaya manusia yang
terjadi sesungguhnya. Dengan kata lain, muncul pemikiran baru yang mengharuskan
peneliti terjun ke lapangan langsung untuk mengetahui dan memahami budaya
kelompok masyarakat dengan menjadi anggota masyarakat secara langsung.
b.
Etnografi Modern (1915-1925).
Dipelopori oleh antropolog sosial Inggris,
Radclifffe-Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi
mula-mula berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu mamandang
hal-ikhwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat
(Spradley, 1997). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu
tentang the way of life masayarakat tersebut. Menurut pandangan dua
antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun
struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup
hanya melakukan wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil
melakukan observasi.
c.
Ethnografi Baru Generasi Pertama (1960-an).
Berakar dari ranah cognitive
anthropology, “etnografi baru” memusatkan usahanya untuk menemukan
bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan
kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Analisis dalam penelitian
ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan
susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti.
Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran
dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat
penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu
strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian
ini.
Etnografi baru jenis ini dikenal dengan nama ethnoscience yang muncul tahun awal 1960-an dan semakin
popular ditahun 1970-an. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) menyatakan bahwa
ethnoscience berasal dari kata ethno yang berarti suku bangsa, dan science yang
berarti ilmu pengetahuan. Sehingga ethnoscience dapat dimaknai sebagai
perangkat pengetahuan dari suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa,
mengenai berbagai macam hal yang ada dalam lingkungan dan kehidupan mereka.
Pengetahuan ini berupa cirri, sifat, keadaan, kategorisasi-kategorisasi,
aturan-aturan, nilai-nilai dan atau petunjuk-petunjuk untuk mewujudkan tindakan
tertentu. Perangkat pengetahuan inilah yang membimbing manusia mewujudkan
perilakunya dalam situasi dan kondisi lingkungan tertentu. Dengan demikian,
pemahaman mengenai pola-pola perilaku suatu pendukung kebudayaan akan dapat
diperoleh manakala seseorag mengetahui dengan baik perangkat pengetahuan yang
mendasari pola-pola perilaku tersebut.
d.
Ethnografi Baru Generasi Kedua.
Inilah metode penelitian hasil sintesis pemikiran
Spardley yang dipaparkan dalam buku “Metode Etnografi” ini. Secara lebih spesifik,
Spardley mendefinisikan budaya – sebagai yang diamati dalam etnografi – sebagai
proses belajar yang mereka gunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling
mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya
ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti
“Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita
sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini
kemudian dia rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas
lima ,prinsip, yakni: Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik
pengumpulan data; mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut.,
misalnya 12 langkah pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley.; setiap
langkah pokok dijalankan secara berurutan; praktik dan latihan harus selalu
dilakukan; memberikan problem solving sebagia tanggung jawab sosialnya,
bukan lagi ilmu untuk ilmu.
Inti dari “Etnografi Baru” Spardley ini
adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang
ingin kita pahami melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan,
etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber: (1) dari hal
yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertidak, (3) dari berbagai artefak
yang digunakan.
Sementara
itu, etnografi sebagai metode penelitian menunjukkan perkembangan cukup berarti
pada dua dasawarsa terakhir. Kondisi itu dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin akseleratif dan budaya manusia sendiri yang semakin
kompleks yang mengarah pada budaya cyber (cyberculture). Ada dua model baru
dalam metode etnografi, yaitu etnografi baru generasi ketiga, dan etnografi
virtual yang bersentuhan dengan teknologi internet.
e. Etnografi Baru Generasi Ketiga.
Etnografi
baru generasi ketiga lahir sekitar tahun 2003 yang dipelopori peneliti
berkebangsaan Jepang, Paula Saokko. Etnografi jenis lebih lebih dipengaruhi
oleh displin keilmuan cultural studies. Karena itu yang menjadi landasan dalam
etnografi ini adalah hermeneutika dan poststrukturalisme. Istilah etnografi
baru dimunculkan, karena rasa frustasinya terhadap kerja metodologi penelitian
yang tidak pernah mengungkap realitas sosial secara objektif, selalu berpihak
kepada informan yang memiliki otoritas, sementara informan yang tak memiliki
otoritas terabaikan. Dalam benak Paula Saokko, penelitian itu harus adil, tidak
ada keberpihakan. Karenna informan atau subjek penelitian harus juga
memperhatikan individu yang termarginalkan, karena bisa jadi apa yang mereka
sampaikan merupakan kebenaran sesungguhnya. Jadi, adil dalam konteks Paula
Saokko adala keberimbangan informan yang dipilih peneliti ketika menggali data.
Sebagai
etnografi baru, Paula Saokko menolak cara kerja etnografi konvensional yang
dinilai sangat esensialis. Karena itu, selain wawancara mendalam, observasi
partisipan, dan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan datanya, maka perspektif
emik-etikpun digunakan secara bersamaan. Dalam arti, seorang etnografer jenis
ini harus menggunakan perspektif emik dalam meneliti, sehingga ia mengerti
betul apa subjek penelitiannya, dan pada saat yang sama dia harus menggunakan
perspektif etik, yaitu segera keluar dari lingkungan subjek penelitian, untuk
melakukan refleksi terhadap apa yang selama ini dilakukan. Apakah yang
etnografer tangkap, maknai, pahami telah benar-benar objektif, atau hanya
emosional karena terlalu larut menjadi orang dalam subjek penelitian.[6][6]
f. Etnografi Virtual
Munculnya etnografi jenis ini berawal dari sebuah
pemikiran tentang aktivitas komunikasi
manusia ketika menggunakan teknologi internet (new media, media online). Hadirnya media baru tersebut telah
memberikan keleluasaan bagi penggunanya dalam mentransmisi dan
menerima pesan tanpa terikat oleh aturan kelembagaan sebagaimana media
darkomunikasi konvensional. Tema yang dibicarakan menjadi sangat beragam, mulai
dari persoalan kekuasaan, ketidaksetaraan, gender, integrasi sosial, identitas,
perubahan sosial, pembangunan hingga persoalan-persoalan yang sifatya sepele (waste of informations). Ketika manusia
semakin “terbenam dan larut” dalam kebiasaan menggunakan media baru, maka tanpa
disadari telah melahirkan sebuah budaya baru bagi manusia. Budaya baru inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah cyberculture.
Lahirnya budaya baru sebagai konsekuensi dari pola prilaku manusia dalam
menggunakan teknologi, telah menarik beberapa pakar untuk mengkajinya. Salah
satunya adalah Christine Hine. Menjadi persoalan besar bagi Christine Hine
ketika ingin mengetahui dan memahami budaya baru tersebut, karena metodologi
penelitian yang ada (etnografi konvensional) tidak memungkinkan untuk
digunakan. Hal ini disebabkan oleh dua persoalan, yaitu (a) posisi peneliti dan
subjek penelitian yang tidak asimetris, padahal dalam penelitian
kualitatif, atau etnografis syarat posisi peneliti dan subjek penelitian harus simetris,
yaitu peneliti dan subjek
penelitian harus bertatap muka (face to face). (b) keontentikan data. Mengingat
posisi peneliti dan subjek penelitian tidak asimetris, maka bisa jadi keontentikan
data yang diberikan subjek penelitian ketika melakukan wawancara virtual,
validatasnya tidak bisa terjaga, apalagi identitas subjek penelitian ketika
online dan offline tidak sama (disamarkan). Untuk menghadapi dua persoalan itu
Christine Hine menyaratkan keterlibatan etnografe virtual harus terlibat secara
online dan offline, melakukan wawancara juga dilakukan secara online dan
offline. Semuanya ini dilakukan untuk mengklarifikasi dan menjaga validitas
data[7][7].
Dari berbagai jenis atau model metode etnografi
tersebut, maka pilihan diserahkan sepenuhnya kepada peneliti. Bukan berarti
beberapa jenis model yang ditampilkan dalam tulisan ini menunjukkan hirarkhi
kualitas, atau menunjukkan bahwa etnografi yang satu lebih baik daripada model
yang lain. Namun lebih tertuju pada bagaimana perkembangan metode etnografi
dari waktu ke waktu, yang semuanya itu disesuaikan dengan perkembangan saat
ini.
Meski model metode etnografi cukup banyak ragamnya,
namun secara prinsip metodologis, menurut Hammersley (1990) dan Genzuk (2005)
etnografi memiliki kesamaan, yaitu :
Naturalisme, yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa tujuan dari penelitian sosial adalah untuk menangkap karakter
perilaku manusia yang muncul secara alami, dan bahwa tujuan ini hanya dapat
diperoleh melalui kontak langsung dengannya, bukan melalui inferensi dari apa
yang dilakukan orang dalam latar buatan seperti eksperimen atau dari apa yang
mereka katakana alam wawancara tentang apa yang mereka lakukan. Ini adalah
alasan bahwa ahli etnografi melakukan penelitian mereka dalam latar “alami”,
latar yang ada kebebasan proses penelitiab, bukan dalam latar yang secara
spesifik dibuat untuk tujuan penelitian. Implikasi penting lainnya dari
naturalism adalah bahwa penelitian dengan latar alami, peneliti harus berusaha
meminimalkan pengaruh mereka terhadap perilaku orang-orang yang akan mereka
teliti. Di samping itu naturalism menghendaki proses dan peristiwa sosial harus
dijelaskan hubungannya dengan konteks tempat munculnya.
Pemahaman (verstehen), tindakan manusia
berbeda dengan perilaku objek fisik, bahkan dari makhluk lainnya. Tindakan
tersebut tidak hanya berisi tanggapan stimulus, tetapi meliputi interpretasi
terhadap stimulus dan konstruksi tanggapan. Kadang-kadang tanggapan ini
mencerminkan penolakan yang lengkap terhadap konsep kausalitas sebagai tidak
dapat diterapkan dalam dunia sosial, dan desakan tegas atas karakter yang
dibangun secara bebas dar tindakan manusia dan institusi. Dari sudut pandang
ini, peneliti harus mampu menjelaskan tindakan manusia secara efektif, dengan
cara ini peneliti akan memperoleh pemahaman tentang perspektif cultural yang
mendasarinya.
Penemuan (invention), salah satu prinsip
penting dari penelitian etnografi adalah mendasarkan pada proses penelitian
yang berjalan secara induktif atau berdasarkan temuan daripada dibatasi oleh
pengujian hipotesis secara eksplisit. Dengan posisi ini, penelitian akan
berjalan secara alamiah tanpa rekayasa. Karena alamiah, bisa jadi dalam proses
penelitian focus persoalan menjadi dipertajam, dibatasi bahkan mungkin menjadi
berubah secara subtantif layaknya sebuah proses sosial yang terjadi pada
manusia.
3.
Alur Penelitian
Etnografi
Secara procedural, alur penelitian etnorafi cukup
beragam, namun alur penelitian etnografi yang cukup baik disampaikan oleh
Spradley. Alur ini dikenal dengan nama siklus penelitian etnografi.
Pertama, pemilihan suatu proyek etnografi. Siklus ini dimulai
dengan memilih suatu proyek penelitian etnografi dengan mempertimbangkan ruang
lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dapat berjarak sepanjang satu
kontinum dari etnografi makro ke etnografi mikro. Makro etnografi dalam konteks ini dapat berupa :
kompleksitas masyarakat, multipleksitas komunitas, studi komunitas tunggal,
multipleksitas institusi-institusi sosial, institusi sosial tunggal, dan
multipleksitas situasi sosial. Sementara mikro etnografi berupa situasi sosial
tunggal. Penelitian makro etnografi biasanya memerlukan waktu yang panjang dan
melibatkan banyak etnografer. Sementara etnografi mikro bisa dilakukan dalam
waktu yang singkat. Untuk memandu bagaimana pemilihan suatu focus proyek
etnografi, Hymes mengidentifikasi tiga model penelitian etnografi, yaitu (1)
Etnografi koprehensif, mencari dokumen suatu jalan total kehidupan. Peneliti
melakukan penelitian sebuah desa yang diinginkan melalui observasi partisipan,
dan mencoba mendeskripsikan rentangan luas tentang adat istiadat. (2) etnografi
berorientasi topic, peneliti mempersempit focus pada satu atau lebih aspek
kehidupan yang diketahui ada dalam suatu masyarakat, misalnya hubungan
keluarga, perilaku peminum dan lain-lain, (3) etnografi berorientasi hipotesis,
ditujukan untuk menggali pengaruh budaya pada kehidupan manusia.
Kedua, pengajuan pertanyaan etnografi. Mengajukan pertanyaan
etnografi menunjukkann bukti yang cukup referensial ketika hendak melakukan
wawancara, termasuk ketika etnografer sedang melakukan observasi dan membuat
catatan lapangan. Dalam penelitian
etngrafir, peneliti dapat mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan (1)
suatu diskripsi tentang konteks, (2) analisis tentang tema-tema utama, (3)
interpretasi perilaku cultural.
Ketiga, pengumpulan data etnografi. Tahap berikutnya
dari siklus penelitian etnografi adalah mengumpulkan data lapangan. Melalui
observasi partisipan, peneliti akan mengamati aktivitas oranf, karakteristik
fisik situasi sosial dan apa yang akan menjadi bagian dari tempat kejadian.
Singkatnya semua data tentang kehidupan sehari-hari subjek penelitian perlu
digali dan dipahami oleh seorang peneliti melalui instrument penggali data.
Keempat, pembuatan rekaman etnografi. Tahap ini memberikan
penekanan kepada kemampuan peneliti untuk mencatat dan merekam semua kegiatan
penelitian yang sedang dan telah dilakukan. Mulai dari mencatat hasil wawancara
dan observasi, mengambil gambar/foto, membuat peta situasi. Ini semua dilakukan
agar tidak terjadi gap antara hasil observasi dengan analisis.
Kelima, analisis data etnografi. Dalam penelitian
etnografi, analisis data tidak dilakukan diakhir pekerjaan, tapi dilakukan pada
saat melakukan pekerjaan. Karena analisis data tidak perlu menunggu data
terkumpul banyak. Analisis data yang diilakukan pada saat penelitian akan
memperkaya peneliti untuk menemukan pertanyaan baru terkait data yang
diperoleh, sehingga dengan munculnya pertanyaann baru ini, akan memperkaya dan
memperdalam penelitian yang dilakukan.
Keenam, penulisan sebuah etngrafi. Sebagai akhir dari
pekerjaan etnografi, menjadi kewajiban peneliti menyampaikan atau memaparkan
hasil penelitiannya. Mengingat sifat etnografi yang natural, maka pemaparan
yang dilakukan harus dilakukan secara natural, seperti layaknya proses alami
yang dialami seorang manusia ketika berada dalam sebuah lingkungan budaya.
4.
Instrumen Pengumpul
dan Paparan Data Etnografi
Sebagaimana layaknya penelitian kualitatf yang
mengedepankan naturalitik dalam mendapatkan data yang sifat deskriptif, maka
penelitian etnografi juga memafaatkan teknik pengumpulan data yang digunakan
penelitian kualitatif pada umumnya, namun ada beberapa teknik yang khas. Adapun
instrumenn pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai berikut :
Pertama,
wawancara mendalam (indepth interview) merupakan serangkaian pertanyaan yang diajukan
peneliti kepada subjek penelitian. Mengingat karakter etnografi yang
naturalistic, maka bentuk pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan
pertanyaan terbuka dan sifatnya mengalir, meski demikian untuk menjaga focus
penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki panduan wawancara yang
sifatnya fleksibel. Setiap wawancara yang dilakukan, peneliti harus
memperdalamnya dengan cara membuat catatan hasil wawancara dan observasi.
Karena itu, kegiatan wawancara akan selalu menghasilkan pertanyaan baru yang
sifatnya memperdalam apa yang telah diterima dari subjek penelitan. Dalam
konteks memperdalam data, proses wawancara dapat dilakukan secara spontan
maupun terencana.
Kedua,
Observasi partisipan (participant observation). Untuk mengetahui
secara detail langsung bagaimana budaya yang dimiliki individu atau sekelompok
masyarakat maka seorang peneliti eetnografi harus menjadi “orang dalam”.
Menjadi “orang dalam” akan memberi keuntungan peneliti dalam menghasilkan data
yang sifatnya natural. Peneliti akan mengetahui dan memahami apa saja yang
dilakukan subjek penelitian, prilaku keseharian, kebiasaan – kebiasaan yang
dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap symbol-simbol kehidupan
subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa
sebenarnya symbol itu. Menjadi orang dalam memberikan akses yang luar biasa
bagi peneliti untuk “menguak”semua hal tanpa sedikitpun halangan, karena subjek
penelitian akan merasa kehadiran peneliti tak ubahnya sebagai bagian dari
keluarganya, sehingga tidak ada keraguan dan hambatan bagi subjek untuk
berperilaku alami, sebagaimana layaknya dia hidup dalam keseharian. Namun
demikian, menjadi orang dalam melalui kegiatan observasi partisipan tidak menjadikan
peneliti larut hingga tidak bisa membedakan dirinya dengan diri subjek
penelitian. Posisi inilah yang harus benar-benar dijaga dalam melakukan riset
etnografi.
Ketiga,
Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion), merupakan kegiatan
diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah. Dalam
konteks ini sebenarnya kemampuan peneliti untuk menyajikan isu atau tema utama,
mengemasnya dan kemudian mendiskusikan serta mengelola diskusi itu menjadi
terarah dalam arti proses diskusi tetap berada dalam wilayah tema dan tidak
terlalu melebar apalagi sampai menyertakan emosi subjek secara berlebihan
menjadi kata kunci dari proses FGD yang baik. Diskusi kelompok terarah ini bisa
diawali dengan pemilihan anggota diskusi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
peneliti, ataupun dapat saja dilakukan dengan secara acak, namun tetap
memperhatikan “kekuatan” masing-masing peserta diskusi, mulai dari tingkat
pendidikan, intelektualitas, pengalaman bahkan keseimbangan gender. Dengan
penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau dominannya
satu kelompok atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian, dilanjutkan dengan
tema yang akan diusung peneliti, dan diskusikan secara bersama. Proses inilah
yang kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk kemudian dijadikan dasar
pijak untuk memperdalam dan memperkaya data etnografi.
Keempat,
Sejarah hidup (Life history), merupakan catatan panjang dan rinci sejarah hidup
subjek penelitian. Melalui catatan sejarah hidup ini peneliti etnografi akan
memahami secara detail apa saja yang menjadi kehidupan subjek penelitian dan
factor-faktor yang mempengaruhinya termasuk budaya yang ada di lingkungannya.
Catatan sejarah hidup, menghendaki kemampuan peneliti untuk jeli dalam melihat
setiap detail kehidupan seseorang, sehingga tergambar dengan jelas bagaimana
“jalan” kehidupan subjek penelitian dari lahir hingga dewasa sehingga
terketemukan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah kehidupan
subjek penelitian. Meski hampir sama dengan pola autobiografi, namun terdapat
perbedaan terutama pada upaya yang lebih kuat dalam penulisan untuk menghindari
subjektivitass penulis.
Kelima,
analisis dokumen (Document analysis). Analisis dokumen diperlukan untuk menjawab
pertanyaan menjadi terarah, disamping menambah pemahaman dan informasi
penelitian. Mengingat dilokasi penelitian tidak semua memiliki dokumen yang
tersedia, maka ada baiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan tentang
informan-informan yang dapat membantu untuk memutuskan apa jenis dokumen yang
mungkin tersedia. Dengan kata lain kebutuhan dokumen bergantung peneliti, namun
peneliti harus menyadari keterbatasan dokumen, dan bisa jadi peneliti mencoba
memahami dokumen yang tersedia, yang mungkin dapat membantu pemahaman.
Berbagai teknik pengumpulan data yang terpapar
tersebut bisa digunakan peneliti secara bersamaan atau dipilih peneliti
berdasarkan kebutuhan dan juga bergantung peneliti dalam memaksimalkan
instrument tersebut. Yang jelas, bagaimana upaya peneliti dalam mendapatkan dan
menghasilkan data etnografi yang rinci dan utuh.
Setelah melakukan proses penggalian data dan
menganalisisnya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan peneliti adalah
membuat laporan etnografi. Ada enam bentuk laporan etnografi yang dapat
disajikan peneliti, yaitu : (1) ethnocentric descriptions adalah studi
yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang
ada. Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikkan secara stereotipe; (2) social
science descriptions digunakan untuk studi yang terfokus secara
teoritis pada uji hipotesis; (3)standard ethnographies menggambarkan
variasi luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli. Studi ini
juga menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain; (4) monolingual
ethnographies, seorang anggota
masyarakat yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer
secara hati-hati membawa sistem semantis bahasanya dan menterjemahkan ke dalam
bahasanya; (5) life histories adalah salah satu bentuk deskripsi yang
menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang melakukan studi ini akan
mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan
bagian penting dari budaya tersebut. Semua dicatat dalam bahasa asli, kemudian
diterjemahkan dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai dengan pencatatan; serta (6) ethnographicnovels.
Sumber: Dra. Tellys Corliana,M.Hum
[1] Penelitian
biografi adalah studi tentang individu dan pengalamannya yang dituliskan
kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip. Tujuan penelitian ini
adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu pengalaman menarik
yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Peneliti
menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri
[7] Untuk melengkapi jawaban
terhadap persoalan metodologis tersebut, Christine Hine (2001) menyodorkan
beberapa prinsip, yaitu
1. Etnografi
virtual mempertanyakan asumsi yang sudah berlaku secara umum tentang internet.
Oleh karena itu peneliti hendaknya menginterpretasikan sekaligus reinterpretasi
internet sebagai sebuah cara sekaligus medium yang digunakan untuk
berkomunikasi.
2. Berbeda
dengan kehidupan nyata dan fenomena yang muncul dari interaksi
face-to-face, internet merupakan lapangan yang sangat kompleks dan relasi yang
terjadi berdasarkan pada konteks apa yang digunakan termasuk terhadap
penggunaan teknologi. Sehingga ketika meneliti internet, maka semestinya menempatkan
internet sebagai sebuah kultur dan artefak cultural.
3. Internet
mengubah pemahaman tentang ’lokasi’ penelitian. Internet adalah tempat yang
interaktif dan selalu bergerak sehingga lebih tepat dalam pendekatan etnografi
untuk melihat bagaimana tempat virtual di internet itu dibuat dan dibuat
kembali
4. Kosekuensi
dari gagasan tentang ’lokasi’ tersebut memunculkan pertanyaan yang serius.
Sebab, dalam etnografi kultur serta komunitas bisa diidentifikasikan dalam
lapangan atau lokasi yang nyata. Hine menawarkan solusi bahwa penelitian
dilepas pisahkan dari pemahamam umum terhadap lokasi dan batas-batas, melainkan
memfokuskan diri pada arus dan koneksitas antar-user di internet
5. Etnografi
virtual pada dasarnya juga mengangkat persoalan batas-batas, akan tetapi
konteks tersebut untuk melihat kenyataan antara yang ’real’ dengan ’virtual’
6. Etnografi
virtual merupakan persinggahan sementara. Kehidupan pengguna di internet tidak
terjadi dalam 24 jam yang sesungghunya, netter atau pengguna internet tidak
dapat dipastikan kapan mereka “berada” di internet
7. Dalam etnografi virtual fenomena
yang diangkat merupakan kepingan-kepingan semata, tidak menggambarkan bagaimana
sesungguhnya (kehidupan di) internet itu berlangsung. Bagi Hine, ada kerumitan
dalam hal menjangkau informan, lokasi dan bahkan kultur itu sendiri secara
seutuhnya.
8. Etnografer hendaknya mereka yang
juga menjadi bagian dalam cyberspace. Hubungan antara etnografer dengan subjek
atau objek penelitian yang menggunakan teknologi merupakan bagian dari
pengalaman pribadi etnografer ketika bersentuhan dengan (teknologi) internet
dan menjadi bagian dalam cyberspace harus diabaikan demi menjaga objektivitas
dalam melihat fenomena.
9. Etnografer maupun informan (penelitian)
harus dirasakan kehadiran antar keduanya. Etnografi virtual dijelaskan sebagai
“ethnography in, of and trough the virtual” sehingga interaksi tatap muka atau
face to face tidak diperlukan10. Beberapa
terminologi, prinsip, maupun aturan yang selama ini dipahami dalam etnografi,
pada dasarnya tidak bisa diterapkan dalam etnografi virtual. Bahkan ketika
membahas kata ’virtual’ pun defenisi ini menemukan bentuk dan keluaran yang
tidak terduga. Oleh karena itu, ketika meneliti cyberculture maka konteks yang
digunakan sebisa mungkin merupakan kondisi yang mendekati ’apa yang terjadi’ di
cyberspace dan bisa digunakan dalam tataran praktis untuk mengeksplorasi relasi
yang terjadi melalui media internet yang ditemui oleh etnografer. Untuk lebih
lengkapnya silahkan baca Christine Hine, Virtual Ethnography. London :
Sage Publication, 2001